Behind Closed Doors

Part 2 of “By Your Side” AU by BEYONDMVRS

YU.
8 min readNov 15, 2022

cw // slurs , physical abuse , violence , (a lot of) harsh words

Jam menunjukkan pukul 13.00 tepat. Tandanya sekarang Seonghwa harus menaruh fokus penuh pada pekerjaannya hari ini.

Di tengah proses menyimpan ponsel ke dalam tas ransel hitam yang selalu dia bawa ke tempatnya bekerja part-time, dari sudut matanya dia mendapati seorang lelaki sedang memperhatikannya. Akhir-akhir ini, dia sering kali menerima tatapan kurang bersahabat dari beberapa rekan kerjanya, yang padahal dulu saat dia baru diterima begitu suportif. Entah hanya perasaannya atau memang realitasnya begitu, tapi dia merasa kalau ada beberapa orang yang diam-diam tahu kalau dia —

“Gue perhatiin lo senyam-senyum mulu ya kalau udah pegang HP.” Suara orang tadi lantas menghamburkan pikirannya. “Awas aja lo kerja nggak becus hari ini.”

Seonghwa membuka mulutnya hendak mengucap sesuatu, namun kemudian mengurungkan niat, kembali mengulum bibirnya. Tak ada bagusnya — gunanya — membalas.

Memasang ekspresi datar sekaligus mencoba untuk tetap terlihat friendly, lelaki berusia 21 tahun itu memilih untuk keluar dari ruang istirahat khusus staf.

Dapur tempatnya bekerja bisa tergolong cukup besar untuk ukuran restoran yang sama di daerah sekitarnya. Dapur ini juga mengusung konsep terbuka — dengan sedikit modifikasi, sebab terdapat sekat kaca transparan yang membatasi interaksi fisik langsung antara para pelayan resto dan pelanggan.

Atau… secara singkat disebut semi-open kitchen.

“Ayo, semangat, Seonghwa,” ucapnya menyemangati diri sendiri. Sembari mengambil napas panjang dan menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur sampai ke arah tempat duduk pelanggan. Satu kata yang bisa menyimpulkan kondisi saat ini: ramai.

Store manager restoran tidak ditemukan — atau setidaknya hanya tak tertangkap pasang netranya — yang bisa membawa arti baik dan buruk sekaligus.

It’s gonna be a long day, I guess,” katanya, mengibaskan kedua tangannya di udara.

“Heh, jangan manyun gitu lah, Hwa.”

Menengok ke sebelah kiri, kini Seonghwa berhadapan dengan seorang lelaki lain yang sedikit lebih pendek darinya yang sudah dikenalnya sejak awal bekerja di sini. “Yeosang, gue nggak — ”

“Lo kelihatan manyun, walau iya, gue tahu gue emang suka over kalau ngomong sesuatu, sih. But either way, semangat hari ini, bro!”

Bahunya ditepuk dua kali, dan Yeosang memberinya senyuman manis (tidak semanis senyum Hongjoong) yang cukup untuk memberi semangat guna mengawali shift hari ini.

“Tuh kan, lo salah masukin lagi, Seonghwa!”

Menggigit bibir bawahnya, Seonghwa dengan tangan gemetaran memindahkan isi mangkuk adonannya ke mangkuk lain. “M-maaf, Kak, saya lupa — ”

“‘Saya lupa,’ katanya,” pria di hadapannya berujar dengan nada mengejek. “Lo udah kerja di sini berapa lama, Hwa? Dan ini tuh masakan yang udah cukup sering lo pegang. Kalau begini kan jadi buang-buang adonan namanya, bangsat.”

Yo, cut him some slack, man!” teriak pria lain dari arah belakang. “Merasa udah paling bener lo?”

“Ya tapi emang sekarang posisinya gue yang bener, kan?” dengus lelaki tersebut.

Seonghwa tak mau membuat situasi semakin ricuh. Walaupun jarak dapur dengan area pelanggan cukup jauh dan terdapat segala macam suara lain, dia takut kejadiannya akan mengundang banyak pasang mata.

“Iya, maaf, Kak Yunho, s-saya yang salah.” Dia membungkukkan badannya beberapa kali sebagai bentuk permintaan maaf. “Saya akan buat yang baru. Janji nggak salah lagi — ”

“Nggak usah!” pria bernama Yunho itu membentak. “Lo bantu si Yeosang aja.”

Mengangguk cepat, Seonghwa hendak menghampiri temannya yang tadi sudah membelanya, di saat kerah baju belakangnya ditarik, menyebabkannya untuk terhuyung mundur.

Kali ini vokal Yunho terdengar paling kencang dibanding suara-suara lain, walaupun dia tahu hal itu disebabkan jarak sumbernya yang terlampau dekat dengan telinga kanannya. “Or maybe not, karena gue mau ngajak lo ke ruangan staf sebentar.”

Mata Seonghwa membelalak; napasnya tercekat. “T-tapi kan nggak boleh, Kak, kecuali — ”

“Nggak ada Pak Han, Hwa. Calm down.”

Fuck. Sudah diduga tadi — tak ada manajer toko akan menjadi sebuah petaka baginya.

“Ayo. Gue mau nunjukin lo sesuatu yang baru… yang bahkan Yeosang atau part-timer lain nggak tahu.”

Sesampainya di ruangan khusus para pekerja, Seonghwa mendapati beberapa rekannya sedang dalam waktu istirahat singkat. Ada yang minum teh, membersihkan apronnya, dan ada juga yang —

“Kalian kenapa pada leha-leha di sini?”

Salah satu dari mereka yang sedang duduk lantas mendongak. “Hah? Leha-leha apaan, anjir? Orang lagi break bentar. Ini Kak San jarinya berdarah kena pisau; gue bantu bersihin tadi. Empati dikit dong, Kak Yun.”

Di luar ekspektasinya, pria di sampingnya langsung terdiam. Seonghwa bisa mendengar orang yang disebut San tadi membisikkan, “Thanks, Jongho,” pada lelaki yang sudah membantu membersihkan luka kecilnya.

“Ya, ya, ya, terserah kalian.” Yunho melempar kedua tangannya ke udara, pasrah. “Asalkan kalian nggak ngebocorin soal gue yang ngebawa Seonghwa ke sini padahal belum waktu break-nya, gue fine-fine aja.”

Seonghwa masih mematung di depan pintu ruangan, menimbang-nimbang kemungkinan dirinya akan dikejar kalau dia memilih untuk kabur. Dia tak tahu hal gila apa saja yang bisa dilakukan Jeong Yunho di tempat tertutup, mengingat dia bisa dibilang seseorang yang cukup berpengaruh di cabang franchise restoran ini. Namun, melihat ada tiga orang lain, mungkin posisinya tidak terlalu berbahaya….

“Sini, Hwa!” suara Yunho terdengar dari balik rak besi tiga tingkat di sisi belakang ruangan.

Melangkah dengan lambat seraya mengatur detak jantungnya yang semakin tak keruan, Seonghwa membuang jauh-jauh pikiran negatifnya dan memasang tameng percaya diri.

Akan tetapi, setibanya di sana, Yunho tanpa aba-aba melayangkan sebuah pukulan ke pipi kirinya — terlalu kuat, menyebabkannya hilang keseimbangan. Lengannya yang sempat terantuk papan rak buru-buru mencari posisi untuk menahan beban tubuhnya supaya tidak langsung ambruk ke lantai.

Samar-samar Seonghwa mendengar suara langkah kaki cepat, disusul teriakan lelaki yang diyakini bernama Jongho, “Woi, apa-apaan!?”

“Kalian semua — jangan ada yang bilang apa-apa soal ini. Udah gue kasih peringatan.”

“Lo apa-apaan, bangsat? Main tiba-tiba mukul karyawan lain yang nggak salah.”

Mendeteksi adanya pergerakan, Yunho menggunakan tumit sepatunya untuk menekan bahu Seonghwa yang sedang berusaha mendorong tubuhnya ke atas.

“A-AH!”

“Lo diem dulu di bawah, Seonghwa.”

“Wey, jangan diinjek gitu!”

“Ini bakal gue lapor ke Pak Han pokoknya, sialan,” San menimpali.

Sang korban hanya bisa memegangi kedua sisi wajahnya. Lidahnya dapat merasakan asin darah. Dia tak peduli kalau badannya sakit; dia hanya tak mau kehilangan pekerjaan karena perkara yang bahkan bukan dimulainya.

“Gue nggak yakin dia bakal percaya omongan kalian,” ucap Yunho yakin. “Tapi sayangnya gue punya satu video yang gue yakin bakal bikin dia mikir dua kali buat terima perpanjangan kontrak” — dia menunjuk ke bawah dengan jari telunjuknya — “lanang satu ini.”

Dirogohnya ponsel dari saku celana, lalu dia menunjukkan layarnya yang berisi satu cuplikan video.

“Kalian lihat ini, coba.” Tangannya yang bergetar memegang ponselnya ke arah tiga orang lain yang juga berdiri. “Ini — dia orang yang sama kayak yang sekarang lagi tergeletak di lantai di hadapan kalian. He looks like a fucking slut, doesn’t he?

Lagi-lagi Seonghwa membelalakkan matanya. Dia memberanikan diri untuk mendongak di bawah pijakan yang melemah, dan Yunho mengarahkan layar ponselnya supaya dia bisa ikut melihat.

Rekaman yang diambil sekitar satu tahun lalu. Acara dance kampus. Lighting panggungnya memang sengaja dibuat minim, dengan lampu sorot berwarna merah dan biru datang dari kedua sisi.

Dia menggelengkan kepalanya, panik. “D-dapet videonya dari ma — ”

“Oh, I have my ways.” Yunho mengedikkan bahunya, lalu memencet tombol di sisi kanan ponsel dan layarnya langsung menggelap. “Cowok gue saling follow sama cowok lo di Instagram, inget? Ya walau sebenarnya gue nggak sudi mereka temenan, sih.”

I-I’m out, guys, sori. Dipanggil Kak Yeosang ke depan!” satu pria yang Seonghwa tak begitu kenal beralasan.

Jongho hendak menarik lengannya, tetapi figurnya sudah pergi terlalu jauh. Dia berhadapan kembali dengan si pelaku, dan setelah berpikir sekian detik berkata, “Persetan dengan kontrak, lo — ”

Ck, udah lah, terima aja. Dia nggak seharusnya kerja di sini. Iya atau iya, Hwa?” Tak menunggu balasan, Yunho melanjutkan, “Lo mendingan kerja di… bar atau nightclub atau di mana gitu.”

Lalu Jongho melayangkan sebuah tinju ke mukanya, dan Yunho nyaris kehilangan keseimbangannya hanya dengan satu kaki yang memijak lantai.

“Ucapan lo, anjing.”

Pelacur — ”

Dan tinjuan lain ke sisi kanan rusuk, membuatnya refleks memegangi abdomennya.

“Lo kira gue bakal diem aja, hah!?” Jongho berteriak, dadanya naik-turun penuh amarah.

San menarik mundur lengan rekannya. “Jjong, udah, cukup, nanti jadi kita yang kena masalah….”

Masih tak menggubris perkataan orang lain, Jongho justru menggoyangkan lengannya supaya lepas dari genggaman. Dia menunduk sedikit guna mencari pasang mata pria yang kini membungkuk, menahan rasa sakit di perutnya. Menanamkan jari telunjuk dan jari tengahnya di tengah dada Yunho, dia pun menegaskan, “Lo keluar dari sini sekarang juga, atau gue tonjok lagi sampai lo ngemis-ngemis minta gue berhenti.”

Yunho memilih untuk mengikuti opsi pertama, dengan luntang-lantung keluar dari ruangan.

Selama tiga puluh detik setelah semua itu terjadi, yang terdengar di seluruh penjuru ruangan hanyalah napas yang saling memburu.

“Jongho, San… m-makasih banyak.”

Seonghwa mencoba untuk berdiri sambil kedua tangannya memegang ujung rak, tetapi segenap tenaganya seakan telah ditelan bumi. Untung saja San menahannya dari sisi kanan, sehingga dia tak kembali jatuh.

Si paling muda tersenyum sumringah, seakan-akan tangannya tidak baru saja berhasil menyebabkan orang yang berkuasa sekalipun kabur ketakutan. “Was just doing something based on some” — dia membunyikan buku-buku jarinya — “common sense.”

“Ehm, more like, nonexistent common sense, soalnya — ”

Jongho memperingatinya dengan tatapan sebelah mata.

“Ah, iya, iya! Some common sense. Right,” San buru-buru meralat kalimatnya. “Tapi Yunho emang keterlaluan, anjir. Emangnya Kak Hwa salah apa sampai dipukul gitu?”

Belum siap untuk menjawab pertanyaan apa pun, dengan lengan panjang kemejanya, Seonghwa menyeka air matanya yang mulai mengucur.

“Eh — aduh, Kak… gapapa, you’re fine with us. Si Yunho — bodo amat nggak gue panggil ‘Kak’ — udah nggak di sini.” San menopang yang lebih tua sampai berjalan ke arah kursi panjang di tengah ruangan. “Barang bawaan Kakak di mana? Biar Jongho bantu ambilin. Sakit banget nggak, Kak, pipinya? Sama pundaknya?”

Seonghwa hanya menggeleng lemah, gesturnya menyiratkan berbagai macam arti menjadi satu. Tangan kirinya mengambil kunci dengan label A003 dari saku kemejanya, kemudian memberikannya pada Jongho. “Maaf pake tangan kiri….”

Handphone Kak Hwa di tas, ya? Pulang sama siapa? Mau gue anter? Kebetulan gue bawa mobil hari ini. Urusan izin sama Pak Han gampang lah; nanti kita ceritain semuanya. Gue sama Jongho di pihak lo, Kak.”

Tepat sesudah Jongho membantu membukakan tasnya, layar ponselnya menampilkan gambar profil —

“Hah… H-Hongjoong.”

Buru-buru dia duduk tegak, mengambil benda persegi panjang itu dari dalam tas, dan menggeser tombol untuk menjawab panggilan. Dia menyalakan mode speaker supaya ponselnya bisa diletakkan di kursi ketimbang harus mendekatkannya ke telinga; tangannya terlalu lemas.

“Ya ampun, akhirnya diangkat. Sayang… kamu masih di resto, kan? Mau aku jemput sekarang?”

Suara kekasihnya terdengar begitu khawatir, Seonghwa jadi merasa tak enak.

Melihat si pengangkat telepon kesusahan mengucap sepatah kata pun, San angkat bicara, “Halo Kak, ini San, rekan kerjanya Kak Hwa. Kak Seonghwa-nya ada di sebelah saya sekarang, tapi susah buat ngomong apa-apa; masih syok, kayaknya. But anyway, buat jawab pertanyaan Kak Hongjoong — iya, tolong jemput ke Sector 1. He needs you. Makasih banget, banget, banget.”

“Ah… oke. Tolong jagain Seonghwa buat saya ya, San? Thanks a lot. I’ll be there in about ten.

“Siap, Kak,” kali ini San dan Jongho menjawab bersamaan, lalu mematikan sambungan teleponnya.

Menjatuhkan kepalanya ke kedua telapak tangan, Seonghwa menjambak rambutnya gusar.

“Kak….” Jongho mengusap-usap punggung yang lebih tua. “It’s okay, we’re here for you. Kakak nggak sendiri, oke?”

Tak tahu. Seonghwa sudah tak tahu lagi.

Tapi satu hal yang pasti: dia akan membalas budi pada keduanya dan Yeosang suatu saat nanti.

© 2022, BEYONDMVRS.

--

--

YU.
YU.

Written by YU.

Been living in Mars since forever ✨

No responses yet