Goin’ Back and Forth
“Hwa, kamu beneran nggak laper?”
Sudah hampir satu jam sejak keduanya sampai di apartemen. Sudah hampir satu jam pula sejak Seonghwa terakhir kali mengucap kalimat utuh. Hanya ‘iya’ dan ‘tidak’ yang sempat disebutnya, dan itu pun karena Hongjoong bertanya sesuatu.
“Makan sedikit, ya? Aku coba masak apa gitu yang gampang.”
Ingin sekali dia tertawa. Miris rasanya mengeluarkan frasa tersebut, sebab di sini yang ditawari adalah anak jurusan Tata Boga.
Tak kunjung mendapat jawaban, Hongjoong yang sedang berdiri di area dapur membalikkan badannya. Dia mendapati kekasihnya meringkuk di sisi kiri sofa, lagi-lagi menghindari memberi beban apa pun ke sisi kanannya. Sepertinya dia telah menemukan permasalahan pertama….
“Oh, baru inget, kayaknya di kulkas ada mi goreng dari tadi pagi, deh. Aku panasin itu terus kamu makan, ya? Mungkin emang nggak seenak kalau baru jadi, tapi at least masih bisa dimakan. Tapi kalau kamu lebih pilih aku masakin sesuatu yang baru juga boleh, sih. Kamu perlu energi supaya cantiknya nggak hilang — ”
“Jangan sebut aku cantik.”
Mata Hongjoong mengerjap bingung. “H-hah?”
“You heard it. A-aku nggak mau — jangan sebut aku begitu lagi, Joong.”
Dan pikirannya langsung mengarah ke satu tempat: Kayaknya ini permasalahan kedua.
Dia mendekat ke sofa berwarna abu tua dengan langkah yang sangat diperhitungkan, seakan-akan salah pijakan bisa menjebloskannya ke lantai satu. “But you said you liked being praised like that, Hwa….”
“Well, some things” — suaranya tercekat — “some things… ch-change.”
“Seonghwa, what did they — ? Aku yakin ini bukan dari pikiran conscious-mu. Iya, kan?” Hongjoong perlahan menjatuhkan tubuhnya di bagian tengah sofa, memberi jarak antara mereka berdua. “Just — what did they say to you? About you?”
Di saat itulah benteng pertahanannya runtuh. Seonghwa menahan tangisnya dengan merapatkan pasang bibir yang bergetar, walaupun usahanya sia-sia sebab isakan pertama malam ini berhasil lolos juga. Tangan kirinya yang tadi bertumpu pada armrest sofa kini bergerak menutup mulutnya, malu akan suara yang dibuatnya.
Hongjoong bergeser ke kiri hingga ujung bajunya bersentuhan dengan milik lelaki yang satunya. Walau sudah berhati-hati, lengannya tetap menyenggol pundak kanan Seonghwa dalam proses meraih pundak satunya, menyebabkan dia meringis kesakitan.
“Jangan sentuh — jangan kena bagian situ. S-sakit.”
“Tuh, kan…. Ini kenapa, Hwa? Please, kasih tahu aku? Sakit banget, ya? Kesenggolnya cuma sedikit padahal, loh. Ayo sini aku bantu lihat, ya?”
“Ng-nggak perlu!”
“Hwa, tolonglah….” At this point, dia sudah tidak peduli kalau nada bicaranya terdengar seperti sedang mengemis. “We’ve known each other since we were little, and I’ve literally seen every inch of your body, Hwa. Dan sekarang kamu nggak ngebolehin aku buat cek bagian pundakmu yang jelas banget kelihatan ada sesuatu? Iya, aku tahu aku bukan dokter, dan ambil kuliah S-1 juga belum. But at least, let me help… please?”
Isak tangis Seonghwa bukannya mereda, justru semakin menjadi-jadi tatkala pandangan buramnya mendapati sang pacar berlutut di hadapannya. Dia menunduk, membiarkan tetes demi tetes air mata membasahi celana jeans hitamnya. Dia merasa posisinya sekarang terlalu rapuh, dan dia benci hal itu.
Tak disadari olehnya, di tangan Hongjoong sudah ada beberapa lembar tisu. Langsunglah dia pakai lembarannya, menghapus jejak air mata yang lebih tua dengan sentuhan yang teramat lembut.
Dia menarik tangan kiri Seonghwa menjauh dari wajahnya, menyatukannya dengan tangan yang lain di atas pangkuan. Gemetarnya dapat dirasakan Hongjoong, sehingga dia mengeratkan genggamannya. Dia juga mengusap halus punggung tangannya, membuat bentuk lingkaran-lingkaran kecil dengan ibu jari. Dia pernah dengar, melakukan ini bisa membantu menjaga seseorang untuk tetap berada di saat ini.
“J-Joong,” panggil Seonghwa lirih, “aku — aku mau tanya dulu.”
“Iya? Mau tanya apa?”
Beberapa detik pertama hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar, sedang Seonghwa masih mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. “Kamu… kamu pernah…”
Hongjoong lanjut mengusap-usap punggung tangannya. “Gapapa, tanya aja, Sayangku.”
“Kamu pernah — pernah ngerasa jijik sama aku nggak sih, Joong?”
Hening. Ingin rasanya Seonghwa menarik kembali kalimatnya.
“H-Hong — ”
“Seonghwa, coba lihat mataku.”
Menurut, yang disebut perlahan mengangkat dagunya sedikit sehingga wajah Hongjoong persis ada di depan matanya. Dari jarak sedekat ini, dia bisa menghirup wangi khas parfum kesukaan kekasihnya menguar di udara, mengisi penuh rongga paru-parunya. Seonghwa sendiri sesungguhnya bukan penggemar wewangian, tapi kalau itu digunakan seorang Kim Hongjoong, dia tak keberatan. He’s even actually grown used to it.
“Sayang, aku nggak pernah ngerasa jijik sama kamu. Nggak pernah. Kamu, menurutku, adalah makhluk paling indah yang ada di dunia saat ini — inside and outside. So why would I feel disgusted?”
“K-kalau sama dance-ku?”
“God — your dance? That’s, like, one of your best aspects! Penari paling keren di mataku itu ya kamu, Hwa. Kenapa kamu nanya itu?”
“T-tadi… someone said I looked like a — ” Seonghwa menghentikan kalimatnya. Lidahnya tiba-tiba kaku. Dia tak mau mengingat kata itu, tapi di sisi lain dia mulai meyakini kalau ucapan Yunho mungkin memang benar adanya.
“Like a what?”
“It starts with an ‘s’.”
Di kepalanya hanya ada satu kata, dan Hongjoong tak mau menyebutnya. Amarah seketika bergumul di dadanya. Maka dia berdiri, mengusap wajahnya kasar dan mengalihkan pandangan ke jendela yang menampilkan gelapnya malam. “What the hell?”
“J-Joong, jangan marah — ”
“Who was it?”
“Apa?”
“Siapa yang bilang itu? Namanya San, bukan?”
“San? Bukan! Joong, he helped me. Dia juga yang bantu ngomong sama kamu di telepon, inget? San sama Jongho — they stood up for me. Tadi juga kamu lihat mereka berdua, kan, pas jemput aku.”
Hongjoong menggembungkan rongga mulutnya, kemudian mengembuskan napas panjang lewat katup bibirnya. “Bener, ya? Bagus, lah, kalau gitu.” Dia kembali menghadap ke dalam. “Terus siapa yang ngomong? Siapa yang — who did this whole thing to you?” Lengannya bergerak-gerak di udara, menggambarkan kata-katanya lewat gestur.
“Nggak penting buat sekarang, Joong….”
Ada benarnya.
Tersadar kalau ada masalah yang jauh lebih penting, si pemilik kamar menggelengkan kepalanya sambil berjalan mondar-mandir di depan sofa. Seonghwa yang melihatnya semakin merasa bersalah sudah merepotkan kekasihnya di hari Sabtu seperti ini. Padahal, biasanya malam Minggu mereka habiskan waktu bersama dengan riang, entah itu pergi jalan-jalan ke luar, menonton film di kediaman salah satunya, atau hal lain yang seringkali ditentukan secara spontan.
“Kamu mau aku ngapain sekarang, Hwa? Kalau aku nggak ngelakuin apa-apa yang bisa make you feel better, aku bakal ngerasa bersalah. Aku tahu intensi kamu bukan itu, kan?”
Seonghwa manggut, walau kepalanya masih tertunduk, matanya terfokus pada satu titik di lantai kayu parket apartemen.
Hongjoong menghentikan langkahnya. Suaranya sangat rileks saat berkata, “So let me help, okay?”
Dia kembali mendekat ke sosok kesayangannya, kali ini berjongkok dengan punggungnya yang ditunjukkan.
“K-kamu mau ngapain?”
“Jadi tumpuan buat kamu jalan. Ke kamar mandi. Tapi bukan buat dinaikin loh, ya! Encok semua nanti pinggangku.”
Tawa kecil Seonghwa berhasil lolos, kendati sedikit tertahan sisa-sisa tangisan.
“Ayo, tanganmu kalungin ke pundakku. Eh, kalungin bukan sih sebutannya? Ya, apa pun itu, deh. Di kamar mandi ada P3K dan segala keperluan lainnya. Bajumu yang dari minggu lalu juga ada buat gantinya yang ini.”
Bangkit dengan teramat perlahan dari duduknya, yang lebih tinggi mengikuti instruksi yang telah diberikan. Dia menggunakan lengan kirinya yang tidak terasa sakit untuk diayunkan ke bahu Hongjoong, sebagian besar bebannya bertumpu di sana. Hingga sampai di kamar mandi, badannya masih senantiasa melekat, takut akan ambruk kalau pegangannya dilepas.
“Yah, lepas bentar bisa nggak, Sayang? Duduk aja, kalau nggak, di…” Hongjoong membantunya berjalan ke arah kloset yang tertutup. “Nah, di sini. Tunggu ya, biar aku ambil baju gantimu dulu.”
Setelahnya kembali, dia langsung mengambil bangku pendek dari sudut ruangan untuknya duduk di depan kloset.
“Kamu sakit kepala, Hwa?”
Seonghwa menggeleng.
“Yakin? Lemes banget kelihatannya. Atau gara-gara belum makan?”
Dia menggeleng lagi.
Bohong. Dia tahu dirinya sedang berbohong. Tapi dia tak mau menambah beban pikiran kekasihnya. Sudah direpotkan dengan harus izin pulang kerja lebih dulu, membawa sosoknya yang tidak keruan ke apartemen, dan sekarang ini? Oh, tidak, dia tidak —
“Well, though I’m no mind reader, aku tahu kamu lagi nyembunyiin sesuatu just from your expression. Yang mana?”
Dia akhirnya menyerah. “S-sakit kepala. But it should be fine! Kamu tahu kan, Joong, aku suka sakit kepala kalau habis nangis. Bukan gara-gara yang lain, kok.”
Hongjoong bangkit sejenak untuk menutup rapat pintu kamar mandi. “Okay…. Sekarang kemejamu dibuka dulu, ya? Aku mau lihat ada luka atau nggak. Mau kamu yang buka sendiri atau aku bukain?”
Dia sudah mencoba supaya terdengar serius, dan walau memang dia tidak sedang main-main, yang ditanya justru melengos malu.
“Heh, aku serius ini loh, Hwa.” Hongjoong menghela napas untuk kali kesekian. “Ya udah, kamu yang buka aja.”
Seonghwa kecewa, tentu. Pasalnya, lengan kanannya sakit sekali untuk digerakkan, ikut terkena dampak dari daerah bahunya yang dihantam tadi siang. “Kamu aja — tolong….”
“Nah, kan. Ya ampun, kamu tuh malu buat apa sih, Hwa? Udah sering juga saling lihat-lihatan padahal.”
“Bukan malu! Aku, ehm, cuma takut kamu marah.”
Tak bisa menyembunyikan senyumnya yang merekah, Hongjoong mulai mengeluarkan kancing baju dari tiap lubangnya satu demi satu.
“Kan aku udah bilang, aku nggak bakal marah sama kamu, Sayang. Kalau aku marah, itu bukan sama kamu. Paham?”
“I-iya….”
Begitu sudah tak ada lagi sehelai kain pun yang menyelimuti tubuh bagian atas sang kekasih, mata Hongjoong langsung mencari tanda kemungkinan adanya luka terbuka.
Apa yang ditemuinya lebih-lebih membuat mulutnya menganga.
Di sekitar daerah tulang selangka kanan (oh, jangan bingung, he still remembers some biology), rona biru pertama ditemukan. Kemudian, ketika dia mengintip ke samping, hendak menginspeksi bagian pundak yang sedari tadi mencurigakan, dia menemukan memar yang jauh lebih besar. Tuhan, siapa yang tega memberi penderitaan begini kepada Seonghwa-nya?
“Fuck. Ini — sumpah, ini parah loh, Hwa.” Hongjoong kembali ke posisi duduknya yang semula, pikirannya kalang-kabut tak keruan. Tapi yang pasti: dia marah. Sangat marah. “Siapa yang mukul kamu sampai segitunya?”
“Joong… ini harus aku ceritain dari awal.”
“Ah, oke. Sebentar, tapi kayaknya mendingan kamu mandi dulu sekalian, deh. Atau nggak? Tapi terserah kamu, sih! Aku bukannya nggak mau dengerin kamu cerita loh, ya. Cuma saran.” Hongjoong merapalkan semuanya dengan cepat sampai dia terdengar seperti sedang bernyanyi rap. “Tapi maksudku daripada kedinginan kamunya. Ceritanya nanti tunggu kita udah sama-sama wangi, terus sambil cuddle di kasur biar lebih santai. Gimana?”
Seonghwa tertawa. Jauh lebih lepas kali ini, namun harus ditahannya supaya tak berlanjut, sebab tertawa saja membuat bahunya sakit.
“Kok malah ketawa, sih!?” Hongjoong mengernyitkan dahinya. (Ya, walau sebenarnya dia senang bisa sedikit demi sedikit menaikkan mood-nya.) “Sini, ayo aku topang lagi buat jalan sampai depan sana.”
Setibanya di tujuan, dia mendorong pintu partisi kaca yang memisahkan antara daerah lantai kering dan basah. Kali ini, dia tak bisa menyembunyikan nada menggodanya. “Bisa sendiri, kan, mandinya? Atau mau aku mandiin?”
“Hongjoong, ih, apa-apaan! Bisa sendiri, lah!”
Gemas. Hongjoong gemas sekali kalau pacarnya sudah begini.
“Kan lengan kananmu sakit semua. Yakin bisa sendiri?”
“B-bisa!” Seonghwa mencoba mengangkat lengan kanannya, yang otomatis berkontradiksi dengan ucapannya. “Ehm, harusnya. Aku bisa-bisain pokoknya. Bisa kok, bisa.”
“Mm-hm, oke…. Gantian aku yang duduk di kloset, ya.”
“Ngapain?”
Dengan muka sok polos, dia menjawab, “Jagain pangeran, atuh. Takutnya kenapa-napa, kan. Sama biar nanti waktu kamu udah selesai, bisa langsung aku sambut lagi.”
“Dih,” decak Seonghwa, “kalau aku kenapa-napa, nanti aku teriak. Kamu mending tunggu di luar aja.”
“Kamu ngusir?”
“Joong, nggak gitu — duh, iya deeeh, iya.”
Senyuman Hongjoong merekah sepuluh kali lebih lebar. Lucu banget, tolong.
“Yeay! Thank you. Hati-hati, awas licin. Nanti habis mandi baru dikasih salep ya ini.” Ditariknya handuk dari sisi kanannya untuk digantung pada pegangan pintu bagian luar. “Ini handuknya, Sayang. Untuk meminta bantuan, silakan masukkan nomor 1107. Untuk panggilan darurat, silakan — ”
“Iya, Cintaku, iya. Udah ah, nggak jadi-jadi ini aku mandinya! Nanti keburu tambah sakit pundakku.”
Hongjoong kembali ke mode serius. “All right, Your Highness.” Dia memberi hormat pura-pura dengan jari telunjuk dan tengah yang berdempetan, dibawa dari samping pelipisnya hingga dilepas ke udara. “Habis kamu mandi giliran aku, jadi jangan lama-lama, oke?” Lalu dia mencuri momen untuk memberi kecupan singkat pada bibir kekasihnya yang seketika kehilangan fokus. “Love you!”
© 2022, BEYONDMVRS.